Dirinya, Cinta Pertama
Kalau sebagian besar orang di bumi memiliki satu keahlian
maka aku keluar dari sebagian itu. Karena yang ku miliki hanya setengah dari
semua keahlian yang ada. Seperti halnya aku yang hanya bisa jatuh cinta
setengahnya saja.
Hingga masa dimana penantianku tak berarti, rasa degup ku
tak berbalas, dan saat seluruh akal sehatku kembali.
Aku sudah gila, menangisi penantian penuh harap yang akhirnya tak berbalas. Karena kala itu begitu indah. Meski harus kurasakan gundah gulana setiap hari.
Aku sudah gila, menangisi penantian penuh harap yang akhirnya tak berbalas. Karena kala itu begitu indah. Meski harus kurasakan gundah gulana setiap hari.
Engkau yang entah darimana asalnya datang tak pernah ku kira sebelumnya. Seseorang yang mengajarkan ku cinta yang bukan dari sebuah olok-olok an semata. Karena sewaktu kecil aku tak pernah merasakan kata ‘cinta’ itu selain mendengar dari beberapa olok-olokan teman-temanku antara perempuan dan laki-laki.
Benar atau tidak, karena setelahnya tak ada yang menandingi
perasaan ini maka ku sebutnya cinta pertama. Cinta pertamaku hadir disaat semua
belum siap. Aku menerima tapi tak ada yang tau, begitupun aku tak pernah tau
engkau menerima atau justru sama sekali tidak mendapatkan undangan perasaan
itu. Kita berjalan dalam sunyi. Kita, aku dan perasaan yang ku sebut ‘cinta’.
‘Cinta’ saat ini begitu ku rindu. Akibat dirinya dan aku
yang berjalan dalam sunyi membuat engkau sebagai objek pun tak pernah ada di
barisan kalimat ku. Engkau ada tapi tak nyata di perjalananku bersama dirinya.
Selalu ku sebut engkau atas munculnya kata kerja pasif bernama ‘cinta’,
terkadang dengan sedikit malu ku bisikkan nama mu di sela-sela doa ku pada Nya,
dan bahkan di setiap langkahku berjalan yang ku harapkan nama mu ada di salah
satu kerumunan orang yang ku temui.
Ya, begitu gila nya aku akan engkau. Lagi-lagi bukan karena
tanpa alasan melainkan perasaan ‘cinta’ itu terlalu berat bagiku untuk
menerimanya sendiri. Aku tak sekuat itu menahan rasa debar saat tatapan matamu
jatuh di mataku dan bahkan hanya dengan mendengar nama mu saja hatiku tak
karuan. Aku tak sekuat itu menahan agar perhatianku tak tertuju padamu, seolah
semenjak ‘cinta’ itu hadir duniaku berevolusi di duniamu. Dan aku juga tak
sekuat itu menahan diriku agar tidak menyentuhmu walau nyatanya sama sekali tak
pernah ada keberanian untuk melakukan itu.
Harusnya sebuah kalimat tanpa objek masih bisa berdiri
sendiri bukan? Aku rasa begitu cukup. Tapi aku sudah lelah. Hingga ku lepaskan
semua dan menyisakan aku sebagai subjek tanpa membentuk kalimat. Karena membawa
‘cinta’ sama saja membawa bayangmu yang tak pernah hilang, jadi biar ku lepas.
Aku tak mau berdiri sendiri sementara engkau berkelana dengan perasaan ‘cinta’
yang kau dapat dari orang lain. Tapi bodohnya aku tidak pernah mengerti efek
melepas ‘cinta’ akan serumit ini. Sekali ku lepas aku begitu merindu, ku cari
tapi tak juga ku temui dirinya. Mungkin saja berlari kepada engkau sang objek
nya sehingga ku cari juga engkau. Akan tetapi masih nihil, yang ku lihat engkau
sedang sibuk membangun ‘cinta’ lain bukan ‘cinta’ yang pernah hadir di diriku.
Ku cari dirinya di antara manusia-manusia sejenis mu juga tidak lagi ku temui
dirinya.
Aku rindu. Rindu sekali. Cinta sejauh itu kah engkau
melangkah pergi? Atau aku yang terlambat mengejarmu? Cinta aku rindu karena
hidupku kosong tanpamu.
Komentar